A.
Kehidupan
Shalahuddin Al-Ayyubi
Shalahuddin Al-Ayyubi yang memiliki nama asli Abu al-Muzhaffar
Yusuf bin Ayyub bin Syadzi dan bergelar “Al-Malik an-Nashir Shalahuddin” adalah
seorang pahlawan Muslim sejati. Ia di dalam masyarakat Eropa dikenal dengan Saladin,
ia juga terkenal dalam perannya mengakkan keadilan dan ajaran Islam baik di
kalangan islam maupun non-Islam. Salahuddin adalah keturunan suku Kurdi yang dilahirkan
di Benteng Tikrit, Irak pada tahun 532 H/1137 M pada saat ayah dan pamannya
sedang berada di benteng itu. Menurut sejarah, keluarga Shalahuddin hanya
tinggal sebentar di Benteng itu. Setelah Shalahuddin di lahirkan, tepatnya pada
akhi tahun 532 H, keluarga Shalahuddin sudah meninggalkan Trikit, tetapi ada
pula yang menyatakan bahwa keluarga itu baru meninggalkan Trikit pada tahun 533
H. Sebab, saat itu mereka sempat tinggal bersama Imaduddin Zanki di Mosul
sampai kemudian terjadi pengepunagn atas Damaskus dilanjutkan dengan
pengepungan Baalbek, yang diikuti oleh Najmuddin Ayyub.
Sejak kecil, selain gemar membaca, Shalahuddin juga senang
berdiskusi tentang ilmu kalam, fikih, Al-Quran, dan Al-Hadis. Saat itu memang
kehidupannya tak banyak dikenal oleh masyarakat, tetapi kehidupan Salahuddin
Al-Ayyubi sudah identik dengan peperangan. Ayahnya, Najmuddin bin Ayyub, dan
pamannya, Asaduddin Syirkuh, adalah orang kepercayaan Nuruddin Mahmud, Raja
Syria dan Mesir. Kehidupan Shalahuddin mulai berubah ketika ayahnya
memperkenalkannya dengan Nuruddin Zangki, penguasa Damaskus saat itu. Shalahuddin
muncul di depan publik dan dikenal masyarakat menjelang keberangkatannya ke
Mesir, menyertai pamannya dalam suatu ekspedisi militer. Jiwa perjuangan ayah
dan pamannya, betapapun mengalir begitu jelas dalam diri Al-Ayyubi.
B.
Pengangkatan
Shalahuddin Al-Ayyubi
Ketika itu, daulah Fathimiyyah telah lemah dan tidak sanggup
menghadapi tentara salib yang ingin menguasai dunia Islam. Rajanya al-Adhid li
Dinillah yang sudah tua renta dan mulai sakit-sakitan meminta kepada Nuruddin
Zangki, raja Syam. Kemudian Nuruddin mengutus Shalahuddin beserta tentaranya
untuk membantu pasukan Mesir. Dalam perjuangannya, Shalahuddin berhasil hingga
ia menjadi sultan di Mesir sebagai pendiri dinasti Ayyubiyah.
Perjuangan Shalahuddin dari ia prajurit biasa sampai menjadi sultan
terbagi menjadi tiga periode:[1]
1.
Periode
pertama, periode berjuang di Mesir.
Shalahuddin pertama kali muncul sebagai prajurit biasa di Mesir
pada tahun 559 H/1164 M ketika berusia 27 tahun. Pada saat itu raja Nuruddin
Zangki mengutus pasukan bersenjata yang terdiri dari suku Kurdi dan Turkuman di
bawah pimpinan Syirkuh, paman Shalahuddin, yang di bantu oleh beberapa
staf-staf komando. Salah satu staf tersebut adalah Shalahuddin al-Ayyubi.
Pasukan tentara bersenjata tersebut diminta untuk menyerang Tyre agar mengalihkan
perhatian tentara Salib di Mesir. Karena permintaan pengalihan tersebut,
Nuruddin akhirnya mengetahui keadaan Mesir yang mulai melemah dalam menghadapi
pasukan Salib. Kemudian Nuruddin memberikan kesempatan kepada Shalahuddin
sebagai wakilnya untuk menguasai Mesir.
Setelah dua bulan memimpin pasukan bersenjata, akhirnya Syirkuh pun
meninggal. Jabatan sebagai pemimpin pasukan pun di ambil alih oleh Shalahuddin
al-Ayyubi. Kemudian Shalahuddin memimpin pasukan untuk menghadapi tentara Salib
yang datang dari Barat, yang mencoba menduduki kota Dimyat untuk merebut Mesir.
Shalahuddin pun menunjukkan keberaniannya menghalau musuh pada perang itu.
Karena keberanian dan kepintarannya, khalifah Al-Adhid
mempercayakan jabatan mentri kepadanya. Datanglah saatnya Shalahuddin tampil ke
tempat yang paling atas sebagai penguasa Mesir. Ketika khalifah Al-Adhid wafat,
Shalahuddin pun diangkat menjadi penguasa Mesir. Tetapi Shalahuddin tidak
bersedia menjadi pelanjut raja Fathimiyyah. Ia malah memproklamasikan mesir
menyatu dengan pemerintahan Abbasiyah di Baghdad. Kemudian namanya pun menjadi
terkenal sebagai pemersatu Dunia Islam yang tadinya terpecah menjadi Abbasiyah
yang Sunni dan Fathimiyah yang Syi’ah. Shalahuddin secara berangsur-angsur
memperkuat kedudukannya tanpa menimbulkan kecurigaan orang Mesir dan Nuruddin
Zangki. Beliau berusaha untuk melemahkan pengikut khalifah dan mencari
kepercayaan rakyat yang mayoritas pengikut aliran Sunni. Shalahuddin berusaha
untuk mendekati rakyat dan mula mengangkat orang-orang kepercayaannya untuk
menduduki jabatan-jabatan penting di Mesir. Setelah kedudukannya kuat, barulah
Shalahuddin memanggil ayah dan saudara-saudaranya serta seluruh keluarganya
untuk hidup bersama di Mesir. Saat itu pula Shalahuddin merubah kebiasaan
khutbah shalat Jum’at yang berisi pujian kepada khalifah Fathimiyyah menjadi
pujian untuk Khalifah di Baghdad.
2.
Periode
kedua, periode menghadapi Syria (1174 – 1186 M)
Karena kedudukan Shalahuddin yang semakin meningkat dan besar di
Mesir, maka banyaklah orang-orang yang cemburu atas kemajuan Shalahuddin dalam
memimpin Mesir. Kemudian orang-orang yang cemburu tersebut menyampaikan kepada
Nuruddin bahwa Shalahuddin hendak merampas Mesir dari kekuasaannya. Tidak
terima dengan berita tersebut, maka disiapkannya pasukan bersenjata untuk
menyerang Mesir dan menurunkan tahta Shalahuddin. Shalahuddin pun ternyata
telah mendengar berita tentang rencana penyerangan Nuruddin ke Mesir, maka dari
itu ia pun telah siap dengan semua angkatan bersenjatanya. Padahal saat itu
musuh-musuh islam sedang menyusun rencana untuk bersiap-siap melanjutkan
peperangan untuk menyerbu dan menguasai negara Islam. Tetapi sebelum penyerbuan
yang di lakukan oleh Nuruddin dilakukan, Nuruddin Zangki meninggal dunia di
Damaskus pada tahun 569 H.
Karena putra raja Syam masih kecil, maka Shalahuddin
memproklamirkan dirinya sebagai raja Mesir dan pelindung raja Syam. Shalahuddin
pun menjadi penguasa arab terpenting yang mempersatukan Mesir, Syria, Mesopotamia,
dan yaman untuk melawan tentara salib. Kemudian orang-orang Kurdi dan Turkuman
bergabung dengan pasukan Shalahuddin yang mempunyai pengaruh besar di Asia
Barat. Dan akhirnya setelah Shalahuddin berhasil memadamkan segala kekacauan
yang terjadi di Syiria dan berhasil mengalahkan Raja al-Malik al-Sholeh
pengganti Nuruddin, dengan terang-terangan dinyatakan kekuasaannya yang penuh
atas Mesir dan Syam. Pada tahun 572 H Shalahuddin kembali ke Mesir dan
mengangkat Thauran Syah sebagai walinya di Syam. Dan ketika ia sedang berada di
Syam, maka Baharuddin sebagai wazirnya yang menjalankan titahnya di Mesir.
Untuk mempertahankan diri dalam melawan pengikut Fathimiyah di
Mesir dan pasukan Salib di Syria dan Palestina, Shalahuddin akhirnya mendirikan
benteng Kairo di atas bukit Muqattam yang paling Barat. Benteng ini pun menjadi
pusat pemerintahan dan kubu militer yang mampu menghalau serangan-serangan dari
luar. Selain itu, ini adalah salah satu rencana Shalahuddin untuk menghubungkan
benteng ini dengan perbentengan Kairo kuno zaman Fathimiyah dan memperluar
benteng ini hingga memagari kota Fustat sepanjang sungai Nil.
3.
Periode
ketiga, periode berjuang di Palestina (1186-1193 M)
Pada periode ini, Shalahuddin banyak menggunakan masa-masanya untuk
mengadakan perang suci melawan tentara salib. Shalahuddin tidak pernah kenal
lelah demi tegaknya Islam. Berbagai peperangan melawan musuh tak terhtung lagi
yang ia lakukan. Oleh sebab itu, peperangan yang diikuti oleh Shalahuddin al-Ayyubi
memiliki sejarah panjang tersendiri. Perang antara tentara Islam dan tentara
salib sesekali di selingi perdamaian, meski sering di langgar oleh tentara
salib, mengisi lembaran perjuanangan Al-Ayyubi. Perang pertama yang di
pimpinnya adalah melawan Almaric I, raja Yerussalem. Berikutnya adalah perang
dengan Baldwin IV (putra Almaric I), lalu dengan Reynald de Chatillon (penguasa
benteng Karak, sebelah Timur laut Mati). Perang selanjutnya melawan Baldwin V
hingga kota-kota seperti Tiberas, Nasirah, Gaza, Hebron, Yerussalem, Bethelhem,
Busniayah, dan Gunung Zaitun, jatuh ke dalam kekuasaannya pada tahun 1187 M.
Dalam peperangannya, Shalahuddin selalu menang melawan tentara
Salib sampai pada puncaknya ketika Shalahuddin memenangkan peperangan di Hittin
dekat Teberias pada tahun 1187 M. Kemudian diikuti atas penundukan Palestina,
Acre (Okka), Nablus, Caesaria, Jaffa, Ascolon, dan Beirut. Pada tahun yang sama
yerussalem juga menyerah, negeri Tripolis, Antiokh, dan seluruh pesisir utara
Tyre dikuasai. Perang suci ini di sudahi dengan perjanjian tahun 1192 di Ramleh
dengan syarat-syarat:
a.
Yerussalem
tetap berada di tangan ummat Islam, dan umat Kristen diizinkan menjalankan
ibadah di tanah suci mereka.
b.
Tentara
Salib mempertahankan pantai Syria dan Tyre sampai Jaffa.
c.
Ummat
Islam mengembalikan harta rampasan Kristen kepada Umat Kristen
Pada tahun 1174 M, Shalahuddin berhasil menguasai Mesir dan
mendirikan Dinasti Ayyubiyah. Pada tahun 1181 M, Malik al-Shaleh meninggal, dan
kemudian Shalahuddin menguasai Mesir, Syam, Mesopotamis dan Yaman. Dinasti
Ayyubiyah berdiri selama 90 tahun, dan memiliki sepuluh orang sultan:[2]
1.
Shalahuddin
Yusuf (1174-1193 M)
2.
Al-Aziz
Ibnu Shalahuddin (1193-1198 M)
3.
Mansur
Ibnu Al-Aziz (1198-1199 M)
4.
Al-Adil
Istiqamah Ahmad Ibnu Ayyub (1199-1218 M)
5.
Al-Kamil
Istiqamah (1218-1238 M)
6.
Al-Adil
II (1238-1240 M)
7.
Sholeh
Nazmuddin (1240-1249 M)
8.
Muazzan
Thauran Ibnu Shakeh (1249-1249 M)
9.
Syazzarat
al Durr-istri Malik Al Shaleh (1249-1249 M)
10.
Asyraf
Ibn Yusuf (1249-1250 M)
Walaupun Shalahuddin telah mencapai kemenangan, ia tidak pernah
lengah. Karena ternyata serangan Salib kembali terjadi dari Barat di bawah
pimpinan raja-raja besar diantaranya adalah Richard si Hati Singa dan berhasil
merebut kembali kota Okka. Kemudian tentara salib mencoba merebut kembali kota
Yerussalem (kota suci tujuan perang Salib) tetapi setalah berkali-kalii
mencoba, tentara Salib selalu gagal. Akhirnya tentara Salib memutuskan untuk
menyerang mesir yang pada saat itu merupakan pusat pemerintahan Shalahuddin. Tetapi
disinilah kecerdikan Shalahuddin, dengan serangan tentara Salib ke mesir,
akhirnya pasukan Shalahuddin dapat merebut kembali kota Yaffa dengan menyerang
dari belakang. Kedudukan pun berubah, pasukan Islam semakin kuat sedangkan
tentara Salib semakin porak poranda. Karena keadaan ini Richard sakit dan
akhirnya meminta damai.
Kesempatan ini digunakan oleh Shalahuddin dengan baik. Dengan
diam-diam beliau meyamar sebagai dokter dan masuk ke dalam kemah Richard.
Beliau pun mengurus Richard hingga ia sembuh. Setelah Richard sembuh, perang
pun di mulai kembali. Ketika mendengar suara komando dari Salahuddin, Richard
pun tertegun. Di saat itulah Richard mengetahui bahwa selama ini yang
merawatnya adalah Salahuddin yang menyamar sebagai dokter. Dan dari lubuk
hatinya akhirnya ia mengakui kebaikan dan keberanian seorang Salahuddin.
Maka keduanya mengadakan perdamaian pada tahun 588 H/1192 M.
Setahun kemudian Shalahuddin wafat dalam usia 75 tahun. Untuk mengabadikan
perdamaian itu, Richard si hati singa mengawinkan saudara perempuannya dengan
Malik al-Adil, saudara Shalahuddin yang menggantikannya. Perkawinan itu
dilangsungkan di Palestina, sebuah perkawinan yang diharapkan sebagai hari
terakhir permusuhan antara Islam dan Kristen. Tetapi sayang, rencana Richard
ini tidak di dukung oleh Paus pada waktu itu, bahkan Richard justru dikutuk dan
dikucilkan serta perang Salib kembali berlanjut.
C.
Kematian
Shalahuddin Al-Ayyubi
Pada bulan Shafar tahun 589 H, Shalahuddin Yusuf bin Ayyub bin
Syadzi, penguasa Mesir, Syam, al-Jazirah, dan negeri lainnya, meninggal dunia
di Damaskus, setelah bertahan selama delapan hari dari saat ia jatuh skit
sepulangnya menemui jama’ah haji.
Sebelum Shalahuddin jatuh sakit, ia memanggil putranya, Al-Afdhal,
dan saudaranya, Al-Malik Al-’Adil Abu Bakar, untuk berbincang-bincang dengan
mereka berdua tentang apa yang harus ia lakukan. Kemudian ia pun berkata: “Kita
sudah tidak lagi berurusan dengan bangsa Eropa dan tidak ada lagi yang
mengganggu kita di negeri ini, lalu negeri mana lagi yang akan kita tuju?” lalu
saudaranya Al-’Adil menyarankannya untuk pergi ke Khalatah, karena Shalahuddin
telah berjanji apabila berhasil mengambil alih kota tersebut, maka akan
diserahkan kepadanya. Sementara itu putranya Al-Afdhal menyarankan untuk
menyerang Romawi dengan alasan karena Romawi adalah negeri yang besar, banyak
tentaranya, juga merupakan jalan bagi bangsa Eropa jika hendak keluar menuju
daratan. Al-Afdhal juga berpendapat bahwa jika Romawi dapat dikuasai, maka umat
Islam dapat mencegah mereka untuk menyeberang. Kemudian Shalahuddin berkata:
“kalian tidak mempunyai visi panjang. Tetapi saya ingin menyerbu Romawi.”
Setelah itu ia berkata kepada saudaranya Al-’Adil: “bawalah bersamamu beberapa
orang anakku dan sebagian pasukanku. Pergilah kamu menuju Khalath. Jika aku
sudah selesai dengan Romawi, aku akan datang menemui kalian. Dari Khalath kita
akan memasuki Azerbayjan, dan kita akan menghubungkan negeri-negeri non-Arab.
Tidak ada seorang pun di sana yang dapat menghalangi.” Kemudian Shalahuddin
mengizinkan saudaranya Al-’Adil untuk pergi menuju al-Kurk yang dulunya
merupakan wilayah kekuasaannya. Shalahuddin berkata kepadanya: “Bersiaplah dan
datanglah untuk segera berangkat.” Ketika Al-’Adil pergi menuju al-Kurk,
Shalahuddin jatuh sakit dan meninggal sebelum kedatngannya.[3]
1.
Keadaan
Keluarga & Anak-anak Shalahuddin Sepeninggalnya
Shalahuddin wafat meninggalkan 17 putranya dengan anak tertuanya al-Afdhal
Nuruddin ‘Ali yang sering diberikan kepercayaan untuk memegang tombak komando
pasukan kepadanya semasa hidupnya. Setelah Shalahuddin meninggal, al-Afdhal
menguasai Damaskus, wilayah pesisir Syam, baytul Maqdis, Ba’labak, Sharkhad,
Bashary, Banyas, Hunayn, Tebnyn, dan seluruh wilayah hingga mencapai al-Drum.
Sedangkan putranya yang lain, al-Malik al-’Aziz ‘Utsman, menguasai Mesir dengan
kekuasaannya yang kokoh. Anaknya yang lain, al-Zharir Ghazi, ada si Halab. Ia
menjadi penguasa di Halab dan seluruh wilayahnya seperti Harem, Tel Basyir,
I’zaz, Barzayah, Darb Sak, Manjab, dan lain-lain. Sementara itu di Humat adalah
Mahmud bin Taqiyuddin, paman Shalahuddin. Ia tunduk kepada Shalahuddin dan
menjadi pengikutnya. Di Hamash yang berkuasa adalah Syirkuh bin Muhammad bin
Syirkuh, yang patuh dan tunduk kepada Al-Malik Al-Afdhal.
Sementara itu, Al-Malik Al-’Adil ada di Kurk. Ia telah pergi ke
sana, dan melawan Malik Al-Afdhal menolak untuk datang menghadap kepada satu
pun keponakannya. Al-Malik Al-Afdhal lalu mengirim surat kepadanya untuk
mengundangnya agar datang menghadap kepadanya. Al-Afdhal mengancamnya. Akan
tetapi Al-Malik Al-’Adil tidak mau datang. Al-Afdhal mengiriminya lagi surat.
Ia mengancam Al-’Adil dengan Al-Malik Al-’Aziz, penguasa Mesir, dan Atabik
‘Izzuddin, penguasa Moshul yang tengah bergerak menuju wilayah kekuasaan Al-’Adil
di al-Jazariyah. Al-Afdhal mengatakan kepadanya: “Jika engkau datang menghadap,
maka aku akan siapkan pasukan dan bergerak menuju negaramu untuk
mempertahankannya. Tapi jika engkau tetap tinggal dan menolak datang, maka
saudaraku, al-Malik al-’Aziz, akan menyarangmu karena di antara kalian memang
sudah ada permusuhan. Jika ‘Izzudin menduduki negerimu, maka tidak ada yang
bisa mencegahnya kecuali Syam.” Al-Afdhal lalu mengatakan kepada kurirnya:
“Jika ia mau datang bersamamu. Jika tidak, maka katakan kepadanya bahwa
al-Afdhal telah memerintahkan aku jika aku kembali ke Damaskus, maka aku akan
kembali bersamamu. Jika engkau tidak mau melakukannya, maka aku akan pergi
menemui al-Malik al-‘Aziz menyerahkan kepadanya segala sesuatu yang terjadi
pilihannya.” Ketika kurir itu datang, al-‘Adil berjanji akan datang.
Setelah menyaksikan bahwa tidak ada cara lain kecuali berjanji,
maka al-‘Adil pun menyampaikan kepada al-Afdhal bahwa ia lebih memilih al-Malik
al-‘Aziz. Ketika itulah ia berangkat ke Damaskus. Al-Afdhal lalu menyiapkan
pasukannya dan mengirim surat kepada penguasa Hamash, penguasa Humat dan kepada
saudaranya, al-Malik al-Zahir, di Halab, untuk mengirimkan pasukannya menuju
al-Jazariyyah guna melindunginya dari serangan penguasa Moshul. Al-Afdhal
mengancam mereka jika mereka tidak mau melakukannya. Di antara pesannya kepada
saudaranya al-Zhahir: “Engkau telah mengetahui kesetiaan penduduk Syam kepada
dinasti Atabik. Demi Allah, jika ‘Izzudin berhasil menduduki Harran, niscaya
penduduk Halab akan mengusir kalian, dan kalian akan keluar dari kota itu.
Pikirkanlah. “Begitu pula yang dilakukannya dengan penduduk Damaskus. Akhirnya
mereka bersatu untuk mengerahkan pasukan. Mereka menyiapkan pasukan, dan
mengerahkannya menuju negeri kekuasaan al-‘Adil. Mereka menyebrangi sungai
Furat, dan mendirikan kamp pasukan di daerah sekitar al-Reha, di Maraj
al-Rahan.[4]
D.
Kemajuan
Peradaban
Dari uraian di atas, dapat di ketahui bahwasanya Shalahuddin
al-Ayyubi mempunyai dua tugas pokok, yaitu sebagai negarawan yang telah
berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah, dan sebagai panglima perang salib yang telah
berhasil mengalahkan tentara Salib.
Dari tugasnya yang pertama, Shalahuddin mengadakan banyak
pembangunan di berbagai negara, membangun administrasi negara, membangun
ekonomi, perdagangan, memajukan ilmu pengetahuan, membangun madrasah dan
sekolah serta mengembangkan bidang keagamaan mazhab ahlu al sunnah. Dan untuk
tugasnya yang kedua, di bawah naungan Abasiyah di Baghdad, beliau membangun
persatuan Arab untuk menghadapi agresi tentara Salib dan membangun benteng
pertahanan di bukit Muqattan.
1.
Kemajuan
Dalam Bidang Ekonomi
Sebelum Shalahuddin meninggal, Shalahuddin memberikan berbagai
bagian dari kekisaran Ayyubiyah, termasuk kota-kota di Suriah, Al-Jazirah, dan
Yaman, kepada pelbagai anggota keluarganya. Sekalipun demikian, rasa
soladaritas keluarga dan pengendalian dari pusat tetap ada di bawah al-‘Adil
dan al-Kamil sampai al-Kamil meninggal. Dibawah kedua sultan ini, kebijaksanaan
aktivis Salahuddin memberikan tempat bagi hubungan detente dan damai dengan
orang-orang Frank, khususnya ketika Ayyubiyah utara di Diyarbarkr dan
Al-Jazirah merasa mendapat tekanan dari dinasti Seljuq Rum dan dinasti
Khawarazm Syah. Puncak kebijaksanaan baru ini adalah dikembalikannya Jerussalem
oleh al-Kamil kepada Kaisar Frederick II, dan periode damai membawa keuntungan ekonomi
yang besar bagi Mesir dan Suriah, termasuk hidupnya kembali perdagangan dengan
kekuatan-kekuatan Kristen Mediterrania.
2.
Kemajuan
Dalam Bidang Sosial dan Politik
Dalam bidang sosial dan politik, Salahuddin merebut beberapa
wilayah dari kekuasaan dari tentara Salib dan membangun Benteng di atas bukit
Muqattam yang paling barat dan menghubungkan benteng tersebut dengan benteng
Kairo kuno zaman Fathimiyah dan memperluas benteng hingga memagari letak kota
Fustat sepanjang sungai Nil. Selain itu, Shalahuddin juga memusatkan
pemerintahannya di Mesir.
Setelah Salahuddin meninggal, al-Kamil adalah salah satu sultan
yang menggantikannya. Di samping memberikan perhatian serius pada dalam bidang
politik dan militer, al-Kamil juga dikenal sebagai seorang penguasa yang
memberikan perhatian terhadap pembangunan dalam negeri. Program pemerintahannya
yang cukup menonjol ialah membangun saluran irigasi dan membuka lahan lahan
pertanian serta menjalin hubungan perdagangan dengan Eropa. Selain itu, ia juga
dapat menjaga kerukunan hidup beragama antar umat Islam dengan Kristen Koptik,
dan bahkan sering mengadakan diskusi keagamaan dengan para pemimpin Koptik.[5]
3.
Kemajuan
Dalam Bidang Ilmu Pengetahuan
Pada masa pemerintahannya, Shalahuddin mendorong para ilmuan untuk
berlomba memajukan ilmu pengetahuan. Ada beberapa orang tokoh yang terkenal
dalam bidang ilmu pengetahuan:
1)
Musa
Ibn Maimoon atau Maimoonides
Musa Ibn Maimoon atau Maimoonides lahir di Cordova pada tahun 1135
M. Tetapi keluarganya meninggalkan negeri itu sebelum jatuh ke tangan Kristen
dan tinggal di Kairi pada tahun 1165 M. Musa Ibn Maimoon adalah seorang Yahudi
yang terkenal di kalangan Yahudi dan Arab sebagai tabib dan ahli filsafat. Di
Kairo ia menjadi dokter pribadi Shalahuddin dan anaknya.
Selain itu, maimoonides juga terkenal sebagai ahli astronomi,
ketuhanan, dan filsafat. Ia mempunyai pandangan baru di dalam ilmu kedokteran
dan mengarang buku kedokteran yang berjudul Aphorisme yang memuat
kritik-kritik terhadap buku Galen. Ia juga menulis buku dalam bidang filsafat
yang berjudul Dalahal al Haizin (sebuah pedoman bagi orang yang baru).
Dalam buku ini, ia mencoba mempertemukan ilmu kedokteran Yahudi dengan
Aristotelian Islam atau antara kepercayaan dengan akal. Pandangan filsafatnya
yang di uraikan dalam buku ini memiliki persamaan dengan buku lain, yaitu
Aveores, walaupun keduanya tidak pernah berhubungan secara langsung.
Dalil yang diciptakannya adalah dalail atomistis. Dalil ini
beerbeda dari dua dalil lainnya yang dijunjung tinggi ole ali pikir Arab, yaitu
teori fundamental bahwa Tuhan adalah pencipta tiap-tiap benda, dan teori
filsafat yang bersifat Neo Platonis dan Aristotelian. Pengaruh maimoonides
sangat besar terutama pada orang-orang Yahudi dan Kristen hingga abad XVIII,
buku-buku itu merupakan alat utama untuk menyebarkan alam pikiran Yahudi
memasuki alam pikiran lainnya. Pengaruhnya yang terakhir terlihat pada buah
ciptaan Spinoza dan Kant.
2)
Abdul
Latief
Abdul Latief adalah seorang dokter ahli tulang yang awalnya tinggal
di Baghdad, kemudian, ia pindah ke Kairo karena hendak mencari orang yang
pandai dalam bidang ilmu kedokteran. Pada tahun 1200 – 1202 M ia menyaksikan
wabah kelaparan dan gempa bumi yang terjadi di Mesir. Selama di Mesir, ia dapat
memperbaiki teori Galen tentang tulang rahang bahwa sebenarnya tulang rahanglah
yang menghubungkan tulang punggung dan tulang kaki.
3)
Ibn
al Baytar
Ibn al Baytar terkenal sebagai dokter hewan dan medical yang
mengarang buku Aqrabaddin (paling dekat dengan agama) yang di ubah oleh
orang Eropa ke bahasa latin menjadi Grafhidion yang berarti buku kecil.
Karena ahli bahasa Eropa menyangka Aqrabadzin berasal dari bahasa latin Grafhidion.
Selain itu, Ibn al Baytar menulis suatu resep kumpulan obat-obatan
yang mudah di dapat. Buku itu memuat 1400 macam tumbuh-tumbuhan yang berasal
dari ramuan lama bangsa Arab yang dapat digunakan menjadi ramuan obat.
4)
Kahin
al Attar dan Daud al Intaki
Kahin al Attar pada tahun 1400 M mengarang buku ramuan obat Islam
yang terkenal di Eropa, yaitu “Management of the drug store” yang berisi
tentang aturan resep untuk dokter. Dan satu lagi buku yang di karang oleh Daud
al Intaki, wafat tahun 1599 M, yang berjudul “Memorial”. Kedua buku ini di karang di Kairo. Pada saat
itu hampir di berbagai apotik di Eropa menggunakan kedua buku ini untuk
memperlengkap koleksi obat – obatannya. Pada masa itu, banyak ramuan-ramuan
Islam yang masuk ke dalam ramuan Eropa. Diantaranya adalah rob (semacam obat
ramuan dari sari buah dan madu), juleb (berasal dari gulap, berarti air mawar),
syrup (berasal dari syarab, berarti obat minum dengan aroma), di Indonesia
menjadi syerbat.
5)
Muhammad
al Damiry
Muhammad al Damiry, wafat tahun 1405 M, juga seorang pakar ilmu
hewan yang terkenal yang mengarang buku yang berjudul “Hayat al Hayawan” (The
Life of Animals). Walaupun buku ini disusun berdasarkan berbagai buku
yang ada tetapi buku ini sangat baik.
Buku ini lama sekali dipakai oleh sekolah-sekolah di berbagai negeri Timur.
4.
Kemajuan
Dalam Bidang Pendidikan
Di puncak kejayaan dinasti Ayyubiyah, beragam jenis sekolah
dibangun di seluruh wilayah kekuasaan dinasti itu. Madrasah-madrasah itu
dibangun tak hanya sekedar untuk membangkitkan dunia pendidikan, tetapi juga
memopulerkan pengetahuan tentang mazhab Sunni. Di masa kepemimpinan
Shalahuddin, di Kota Damaskus berdiri sebanyak 20 sekolah, 100 tempat
pemandian, dan sejumlah tempat berkumpulnya para sufi. Bangunan madrasah juga
didirikan di berbagai kota, seperti Aleppo, Yerusalem, Kairo, Alexandria, dan
di berbagai kota lainnya di Hijaz. Sejumlah sekolah juga dibangun oleh para
penerus tahta kerajaan Ayyubiyah. “Istri-istri dan anak-anak perempuan penguasa
Ayyubiyah, komandan, dan orang-orang terkemuka di dinasti itu mendirikan dan
membiayai lembaga-lembaga pendidikan’’. Meski Dinasti Ayyubiyah menganut mazhab
fikih Syafi’i, mereka mendirikan madrasah yang mengajarkan keempat mazhab
fikih. Sebelum Ayyubiyah menguasai Suriah, di wilayah itu tak ditemukan sama
sekali madrasah yang mengajarkan fikih mazhab Hambali dan Maliki. Setelah
Ayyubiyah berkuasa di kawasan itu, para ahli sejarah menemukan 40 madrasah
Syafi’i, 34 Hanafi, 10 Hambali, dan tiga Maliki.
Berbeda dengan kuttab dan mesjid, madrasah sudah mempunyai bangunan
fisik tertentu seperti sekarang ini, yang bentuknya dirancang sesuai fungsinya
untuk melanjutkan pendidikan mesjid. Bangunan madrasah tersebut meliputi tiga
unit, yaitu; Unit madrasah, unit asrama, dan unit mesjid. Unit asrama dijadikan
tempat murid-murid, guru-guru dan para pegawai madrasah sehingga membentuk
keluarga besar, dengan demikian murid-murid dapat diberikan program-program
belajar yang intensif dan membahas secara bersama-sama masalah-masalah yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan, keagamaan, kemasyarakatan, dan
penghidupan. Tujuan pendidikannya selain untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
agama dan membentuk kader-kader yang mempunyai misi keagamaan dalam masyarakat,
juga untuk mencetak tenaga-tenaga yang kreatif yang ahli dalam bidangnya
masing-masing.
Perbedaan-perbedaan lainnya adalah madrasah sudah merupakan salah
satu organisasi resmi Negara di mana dikeluarkan pekerja-pekerja dan
pegawai-pegawai pemerintahan. Pelajar-pelajar disitu juga resmi, dijalankan
menurut peraturan-peraturan dan undang-undang, serupa yang dikenal selama ini. Segala
sesuatu diatur seperti kehadiran dan kepulangan murid, program-program
pelajaran, staf pengajar, perpustakaan dan gelar-gelar ilmiah. Di Mesir ketika
itu hanya terdapat satu buah perguruan tinggi yaitu Universitas al-Azhar yang
masih berdiri hingga sekarang.[6]
E.
Kemunduran
dan Kehancuran Dinasti Ayyubiyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hancurnya dinasti Ayyubiyah, pertama:
faktor dari luar, yaitu serangan tentara Salib yang etrus menerus. Kedua:
faktor dari dalam, yaitu pergantian kepemimpinan yang menimbulkan polemik pada
saat itu.
Pada tahun 1249 M Malik al Saleh Ayyubiyah sebagai penguasa Mesir
ketika itu jatuh sakit, kemudian meninggal dunia pada tahun itu juga. Kekuasaan
sementara di pegang oleh istrinya yaitu Sajaratud Durr yang asal usulnya adalah
seorang budak kebangsaan Armenia sebagai hadiah dari kalifah Mu’tashim di
Baghdad kepada Malik al-Shaleh. Sajjaratud Durr kemudian dimerdekakan dan
diangkat menjadi permaisuri. Setelah lebih kurang 80 hari berkuasa, Sajjaratud
Durr memanggil anak Malik al Shaleh yang bernama Turan Syah untuk menduduki
tahta. Tetapi setelah berkuasa, anak titirnya ini malah tidak berterima kasih
atas usaha ibunya, bahkan berusaha untuk menyingkirkannya. Maka Sajjaratud Durr
meminta bantuan kaum mamluk dan terjadilah kudeta yang berkahir dengan
terbunuhnya Turan Syah dan Sajjaratud Durr dinobatkan kembali menjadi Sultan
mesir sekaligus penguasa peralihan dari Ayyubiyah ke penguasa baru yaitu
dinasti Mamalik.[7]
Dinasti
Ayubiyyah mulai merosot ketika
mereka mulai bergantung kepada hamba yang dibawa dari Turki dan Mongol sebagai
tentera. Hamba-hamba ini mulai bertambah kuat dan dikenali sebagai Mamluk. Kekuasaan
Ayubiyyah merosot terus selepas kehilangan Mesir kepada Mamluk pada tahun 1250.
Ayubiyyah terus memerintah Damsyik dan Aleppo sehingga tahun 1260 hingga mereka
diusir keluar oleh orang Mongol. Kemarahan Mongol yang dapat disekat di Ain
Jalut oleh tentera Mamluk sehingga menjadikan Mamluk semakin kuat. Tahun
berikutnya hampir seluruh Syria jatuh ke tangan Mamluk. Kerajaan Ayubiyyah
sempat masih terus memerintah sebagian kecil kawasan Syria seperti Hamah untuk
70 tahun berikutnya sehingga mereka diduduki oleh Mamluk.[8]
[1] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta:
Kencana, 2007) h. 147
[2] Ahmad Fadlali,
dkk,. Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004) Cet. 1.
Hal. 106
[3] Abu Haytsam, Ekspedisi
Shalahudin Al-Ayubi (Jakarta: Pustaka Kalami, 2004) Cet 1. Hal. 356
[4] Ibid. Hal.
358-360
[5]Ali M. Zebua,
“Dinasti Ayyubiyah: Hubungan Politik Dengan Pendidikan Islam,” artikel di akses
pada 13 November 2012 dari http://alimzebua.wordpress.com/2012/02/19/adinasti-ayyubiyah-hubungan-politik-dengan-pendidikan-islam-oleh-ali-m-zebua-mahasiswa-magister-mpi-pascasarjana-iain-su-medan/
[6] Ibid.
[7] Ahmad Fadlali,
dkk., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004), h.
108-109.
[8] “Sejarah Dinasti Ayyubiyah” artikel diakses pada 13
November 2012 dari
http://pemudagenius.blogspot.com/2011/06/sejarah-dinasti-ayyubiyah.html
2 komentar:
syukron.,
Afwan :)
Posting Komentar