Dinasti Ayyubiyah

Jumat, 16 November 2012


A.          Kehidupan Shalahuddin Al-Ayyubi
Shalahuddin Al-Ayyubi yang memiliki nama asli Abu al-Muzhaffar Yusuf bin Ayyub bin Syadzi dan bergelar “Al-Malik an-Nashir Shalahuddin” adalah seorang pahlawan Muslim sejati. Ia di dalam masyarakat Eropa dikenal dengan Saladin, ia juga terkenal dalam perannya mengakkan keadilan dan ajaran Islam baik di kalangan islam maupun non-Islam. Salahuddin adalah keturunan suku Kurdi yang dilahirkan di Benteng Tikrit, Irak pada tahun 532 H/1137 M pada saat ayah dan pamannya sedang berada di benteng itu. Menurut sejarah, keluarga Shalahuddin hanya tinggal sebentar di Benteng itu. Setelah Shalahuddin di lahirkan, tepatnya pada akhi tahun 532 H, keluarga Shalahuddin sudah meninggalkan Trikit, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa keluarga itu baru meninggalkan Trikit pada tahun 533 H. Sebab, saat itu mereka sempat tinggal bersama Imaduddin Zanki di Mosul sampai kemudian terjadi pengepunagn atas Damaskus dilanjutkan dengan pengepungan Baalbek, yang diikuti oleh Najmuddin Ayyub.
            Sejak kecil, selain gemar membaca, Shalahuddin juga senang berdiskusi tentang ilmu kalam, fikih, Al-Quran, dan Al-Hadis. Saat itu memang kehidupannya tak banyak dikenal oleh masyarakat, tetapi kehidupan Salahuddin Al-Ayyubi sudah identik dengan peperangan. Ayahnya, Najmuddin bin Ayyub, dan pamannya, Asaduddin Syirkuh, adalah orang kepercayaan Nuruddin Mahmud, Raja Syria dan Mesir. Kehidupan Shalahuddin mulai berubah ketika ayahnya memperkenalkannya dengan Nuruddin Zangki, penguasa Damaskus saat itu. Shalahuddin muncul di depan publik dan dikenal masyarakat menjelang keberangkatannya ke Mesir, menyertai pamannya dalam suatu ekspedisi militer. Jiwa perjuangan ayah dan pamannya, betapapun mengalir begitu jelas dalam diri Al-Ayyubi.
B.          Pengangkatan Shalahuddin Al-Ayyubi
Ketika itu, daulah Fathimiyyah telah lemah dan tidak sanggup menghadapi tentara salib yang ingin menguasai dunia Islam. Rajanya al-Adhid li Dinillah yang sudah tua renta dan mulai sakit-sakitan meminta kepada Nuruddin Zangki, raja Syam. Kemudian Nuruddin mengutus Shalahuddin beserta tentaranya untuk membantu pasukan Mesir. Dalam perjuangannya, Shalahuddin berhasil hingga ia menjadi sultan di Mesir sebagai pendiri dinasti Ayyubiyah.
Perjuangan Shalahuddin dari ia prajurit biasa sampai menjadi sultan terbagi menjadi tiga periode:[1]
1.             Periode pertama, periode berjuang di Mesir.
Shalahuddin pertama kali muncul sebagai prajurit biasa di Mesir pada tahun 559 H/1164 M ketika berusia 27 tahun. Pada saat itu raja Nuruddin Zangki mengutus pasukan bersenjata yang terdiri dari suku Kurdi dan Turkuman di bawah pimpinan Syirkuh, paman Shalahuddin, yang di bantu oleh beberapa staf-staf komando. Salah satu staf tersebut adalah Shalahuddin al-Ayyubi. Pasukan tentara bersenjata tersebut diminta untuk menyerang Tyre agar mengalihkan perhatian tentara Salib di Mesir. Karena permintaan pengalihan tersebut, Nuruddin akhirnya mengetahui keadaan Mesir yang mulai melemah dalam menghadapi pasukan Salib. Kemudian Nuruddin memberikan kesempatan kepada Shalahuddin sebagai wakilnya untuk menguasai Mesir.
Setelah dua bulan memimpin pasukan bersenjata, akhirnya Syirkuh pun meninggal. Jabatan sebagai pemimpin pasukan pun di ambil alih oleh Shalahuddin al-Ayyubi. Kemudian Shalahuddin memimpin pasukan untuk menghadapi tentara Salib yang datang dari Barat, yang mencoba menduduki kota Dimyat untuk merebut Mesir. Shalahuddin pun menunjukkan keberaniannya menghalau musuh pada perang itu.
Karena keberanian dan kepintarannya, khalifah Al-Adhid mempercayakan jabatan mentri kepadanya. Datanglah saatnya Shalahuddin tampil ke tempat yang paling atas sebagai penguasa Mesir. Ketika khalifah Al-Adhid wafat, Shalahuddin pun diangkat menjadi penguasa Mesir. Tetapi Shalahuddin tidak bersedia menjadi pelanjut raja Fathimiyyah. Ia malah memproklamasikan mesir menyatu dengan pemerintahan Abbasiyah di Baghdad. Kemudian namanya pun menjadi terkenal sebagai pemersatu Dunia Islam yang tadinya terpecah menjadi Abbasiyah yang Sunni dan Fathimiyah yang Syi’ah. Shalahuddin secara berangsur-angsur memperkuat kedudukannya tanpa menimbulkan kecurigaan orang Mesir dan Nuruddin Zangki. Beliau berusaha untuk melemahkan pengikut khalifah dan mencari kepercayaan rakyat yang mayoritas pengikut aliran Sunni. Shalahuddin berusaha untuk mendekati rakyat dan mula mengangkat orang-orang kepercayaannya untuk menduduki jabatan-jabatan penting di Mesir. Setelah kedudukannya kuat, barulah Shalahuddin memanggil ayah dan saudara-saudaranya serta seluruh keluarganya untuk hidup bersama di Mesir. Saat itu pula Shalahuddin merubah kebiasaan khutbah shalat Jum’at yang berisi pujian kepada khalifah Fathimiyyah menjadi pujian untuk Khalifah di Baghdad.

2.             Periode kedua, periode menghadapi Syria (1174 – 1186 M)
Karena kedudukan Shalahuddin yang semakin meningkat dan besar di Mesir, maka banyaklah orang-orang yang cemburu atas kemajuan Shalahuddin dalam memimpin Mesir. Kemudian orang-orang yang cemburu tersebut menyampaikan kepada Nuruddin bahwa Shalahuddin hendak merampas Mesir dari kekuasaannya. Tidak terima dengan berita tersebut, maka disiapkannya pasukan bersenjata untuk menyerang Mesir dan menurunkan tahta Shalahuddin. Shalahuddin pun ternyata telah mendengar berita tentang rencana penyerangan Nuruddin ke Mesir, maka dari itu ia pun telah siap dengan semua angkatan bersenjatanya. Padahal saat itu musuh-musuh islam sedang menyusun rencana untuk bersiap-siap melanjutkan peperangan untuk menyerbu dan menguasai negara Islam. Tetapi sebelum penyerbuan yang di lakukan oleh Nuruddin dilakukan, Nuruddin Zangki meninggal dunia di Damaskus pada tahun 569 H.
Karena putra raja Syam masih kecil, maka Shalahuddin memproklamirkan dirinya sebagai raja Mesir dan pelindung raja Syam. Shalahuddin pun menjadi penguasa arab terpenting yang mempersatukan Mesir, Syria, Mesopotamia, dan yaman untuk melawan tentara salib. Kemudian orang-orang Kurdi dan Turkuman bergabung dengan pasukan Shalahuddin yang mempunyai pengaruh besar di Asia Barat. Dan akhirnya setelah Shalahuddin berhasil memadamkan segala kekacauan yang terjadi di Syiria dan berhasil mengalahkan Raja al-Malik al-Sholeh pengganti Nuruddin, dengan terang-terangan dinyatakan kekuasaannya yang penuh atas Mesir dan Syam. Pada tahun 572 H Shalahuddin kembali ke Mesir dan mengangkat Thauran Syah sebagai walinya di Syam. Dan ketika ia sedang berada di Syam, maka Baharuddin sebagai wazirnya yang menjalankan titahnya di Mesir.
Untuk mempertahankan diri dalam melawan pengikut Fathimiyah di Mesir dan pasukan Salib di Syria dan Palestina, Shalahuddin akhirnya mendirikan benteng Kairo di atas bukit Muqattam yang paling Barat. Benteng ini pun menjadi pusat pemerintahan dan kubu militer yang mampu menghalau serangan-serangan dari luar. Selain itu, ini adalah salah satu rencana Shalahuddin untuk menghubungkan benteng ini dengan perbentengan Kairo kuno zaman Fathimiyah dan memperluar benteng ini hingga memagari kota Fustat sepanjang sungai Nil.

3.             Periode ketiga, periode berjuang di Palestina (1186-1193 M)
Pada periode ini, Shalahuddin banyak menggunakan masa-masanya untuk mengadakan perang suci melawan tentara salib. Shalahuddin tidak pernah kenal lelah demi tegaknya Islam. Berbagai peperangan melawan musuh tak terhtung lagi yang ia lakukan. Oleh sebab itu, peperangan yang diikuti oleh Shalahuddin al-Ayyubi memiliki sejarah panjang tersendiri. Perang antara tentara Islam dan tentara salib sesekali di selingi perdamaian, meski sering di langgar oleh tentara salib, mengisi lembaran perjuanangan Al-Ayyubi. Perang pertama yang di pimpinnya adalah melawan Almaric I, raja Yerussalem. Berikutnya adalah perang dengan Baldwin IV (putra Almaric I), lalu dengan Reynald de Chatillon (penguasa benteng Karak, sebelah Timur laut Mati). Perang selanjutnya melawan Baldwin V hingga kota-kota seperti Tiberas, Nasirah, Gaza, Hebron, Yerussalem, Bethelhem, Busniayah, dan Gunung Zaitun, jatuh ke dalam kekuasaannya pada tahun 1187 M.
Dalam peperangannya, Shalahuddin selalu menang melawan tentara Salib sampai pada puncaknya ketika Shalahuddin memenangkan peperangan di Hittin dekat Teberias pada tahun 1187 M. Kemudian diikuti atas penundukan Palestina, Acre (Okka), Nablus, Caesaria, Jaffa, Ascolon, dan Beirut. Pada tahun yang sama yerussalem juga menyerah, negeri Tripolis, Antiokh, dan seluruh pesisir utara Tyre dikuasai. Perang suci ini di sudahi dengan perjanjian tahun 1192 di Ramleh dengan syarat-syarat:
a.              Yerussalem tetap berada di tangan ummat Islam, dan umat Kristen diizinkan menjalankan ibadah di tanah suci mereka.
b.             Tentara Salib mempertahankan pantai Syria dan Tyre sampai Jaffa.
c.              Ummat Islam mengembalikan harta rampasan Kristen kepada Umat Kristen
Pada tahun 1174 M, Shalahuddin berhasil menguasai Mesir dan mendirikan Dinasti Ayyubiyah. Pada tahun 1181 M, Malik al-Shaleh meninggal, dan kemudian Shalahuddin menguasai Mesir, Syam, Mesopotamis dan Yaman. Dinasti Ayyubiyah berdiri selama 90 tahun, dan memiliki sepuluh orang sultan:[2]
1.             Shalahuddin Yusuf (1174-1193 M)
2.             Al-Aziz Ibnu Shalahuddin (1193-1198 M)
3.             Mansur Ibnu Al-Aziz (1198-1199 M)
4.             Al-Adil Istiqamah Ahmad Ibnu Ayyub (1199-1218 M)
5.             Al-Kamil Istiqamah (1218-1238 M)
6.             Al-Adil II (1238-1240 M)
7.             Sholeh Nazmuddin (1240-1249 M)
8.             Muazzan Thauran Ibnu Shakeh (1249-1249 M)
9.             Syazzarat al Durr-istri Malik Al Shaleh (1249-1249 M)
10.         Asyraf Ibn Yusuf (1249-1250 M)
Walaupun Shalahuddin telah mencapai kemenangan, ia tidak pernah lengah. Karena ternyata serangan Salib kembali terjadi dari Barat di bawah pimpinan raja-raja besar diantaranya adalah Richard si Hati Singa dan berhasil merebut kembali kota Okka. Kemudian tentara salib mencoba merebut kembali kota Yerussalem (kota suci tujuan perang Salib) tetapi setalah berkali-kalii mencoba, tentara Salib selalu gagal. Akhirnya tentara Salib memutuskan untuk menyerang mesir yang pada saat itu merupakan pusat pemerintahan Shalahuddin. Tetapi disinilah kecerdikan Shalahuddin, dengan serangan tentara Salib ke mesir, akhirnya pasukan Shalahuddin dapat merebut kembali kota Yaffa dengan menyerang dari belakang. Kedudukan pun berubah, pasukan Islam semakin kuat sedangkan tentara Salib semakin porak poranda. Karena keadaan ini Richard sakit dan akhirnya meminta damai.
Kesempatan ini digunakan oleh Shalahuddin dengan baik. Dengan diam-diam beliau meyamar sebagai dokter dan masuk ke dalam kemah Richard. Beliau pun mengurus Richard hingga ia sembuh. Setelah Richard sembuh, perang pun di mulai kembali. Ketika mendengar suara komando dari Salahuddin, Richard pun tertegun. Di saat itulah Richard mengetahui bahwa selama ini yang merawatnya adalah Salahuddin yang menyamar sebagai dokter. Dan dari lubuk hatinya akhirnya ia mengakui kebaikan dan keberanian seorang Salahuddin.
Maka keduanya mengadakan perdamaian pada tahun 588 H/1192 M. Setahun kemudian Shalahuddin wafat dalam usia 75 tahun. Untuk mengabadikan perdamaian itu, Richard si hati singa mengawinkan saudara perempuannya dengan Malik al-Adil, saudara Shalahuddin yang menggantikannya. Perkawinan itu dilangsungkan di Palestina, sebuah perkawinan yang diharapkan sebagai hari terakhir permusuhan antara Islam dan Kristen. Tetapi sayang, rencana Richard ini tidak di dukung oleh Paus pada waktu itu, bahkan Richard justru dikutuk dan dikucilkan serta perang Salib kembali berlanjut.




C.          Kematian Shalahuddin Al-Ayyubi
Pada bulan Shafar tahun 589 H, Shalahuddin Yusuf bin Ayyub bin Syadzi, penguasa Mesir, Syam, al-Jazirah, dan negeri lainnya, meninggal dunia di Damaskus, setelah bertahan selama delapan hari dari saat ia jatuh skit sepulangnya menemui jama’ah haji.
Sebelum Shalahuddin jatuh sakit, ia memanggil putranya, Al-Afdhal, dan saudaranya, Al-Malik Al-’Adil Abu Bakar, untuk berbincang-bincang dengan mereka berdua tentang apa yang harus ia lakukan. Kemudian ia pun berkata: “Kita sudah tidak lagi berurusan dengan bangsa Eropa dan tidak ada lagi yang mengganggu kita di negeri ini, lalu negeri mana lagi yang akan kita tuju?” lalu saudaranya Al-’Adil menyarankannya untuk pergi ke Khalatah, karena Shalahuddin telah berjanji apabila berhasil mengambil alih kota tersebut, maka akan diserahkan kepadanya. Sementara itu putranya Al-Afdhal menyarankan untuk menyerang Romawi dengan alasan karena Romawi adalah negeri yang besar, banyak tentaranya, juga merupakan jalan bagi bangsa Eropa jika hendak keluar menuju daratan. Al-Afdhal juga berpendapat bahwa jika Romawi dapat dikuasai, maka umat Islam dapat mencegah mereka untuk menyeberang. Kemudian Shalahuddin berkata: “kalian tidak mempunyai visi panjang. Tetapi saya ingin menyerbu Romawi.” Setelah itu ia berkata kepada saudaranya Al-’Adil: “bawalah bersamamu beberapa orang anakku dan sebagian pasukanku. Pergilah kamu menuju Khalath. Jika aku sudah selesai dengan Romawi, aku akan datang menemui kalian. Dari Khalath kita akan memasuki Azerbayjan, dan kita akan menghubungkan negeri-negeri non-Arab. Tidak ada seorang pun di sana yang dapat menghalangi.” Kemudian Shalahuddin mengizinkan saudaranya Al-’Adil untuk pergi menuju al-Kurk yang dulunya merupakan wilayah kekuasaannya. Shalahuddin berkata kepadanya: “Bersiaplah dan datanglah untuk segera berangkat.” Ketika Al-’Adil pergi menuju al-Kurk, Shalahuddin jatuh sakit dan meninggal sebelum kedatngannya.[3]


1.             Keadaan Keluarga & Anak-anak Shalahuddin Sepeninggalnya
Shalahuddin wafat meninggalkan 17 putranya dengan anak tertuanya al-Afdhal Nuruddin ‘Ali yang sering diberikan kepercayaan untuk memegang tombak komando pasukan kepadanya semasa hidupnya. Setelah Shalahuddin meninggal, al-Afdhal menguasai Damaskus, wilayah pesisir Syam, baytul Maqdis, Ba’labak, Sharkhad, Bashary, Banyas, Hunayn, Tebnyn, dan seluruh wilayah hingga mencapai al-Drum. Sedangkan putranya yang lain, al-Malik al-’Aziz ‘Utsman, menguasai Mesir dengan kekuasaannya yang kokoh. Anaknya yang lain, al-Zharir Ghazi, ada si Halab. Ia menjadi penguasa di Halab dan seluruh wilayahnya seperti Harem, Tel Basyir, I’zaz, Barzayah, Darb Sak, Manjab, dan lain-lain. Sementara itu di Humat adalah Mahmud bin Taqiyuddin, paman Shalahuddin. Ia tunduk kepada Shalahuddin dan menjadi pengikutnya. Di Hamash yang berkuasa adalah Syirkuh bin Muhammad bin Syirkuh, yang patuh dan tunduk kepada Al-Malik Al-Afdhal.
Sementara itu, Al-Malik Al-’Adil ada di Kurk. Ia telah pergi ke sana, dan melawan Malik Al-Afdhal menolak untuk datang menghadap kepada satu pun keponakannya. Al-Malik Al-Afdhal lalu mengirim surat kepadanya untuk mengundangnya agar datang menghadap kepadanya. Al-Afdhal mengancamnya. Akan tetapi Al-Malik Al-’Adil tidak mau datang. Al-Afdhal mengiriminya lagi surat. Ia mengancam Al-’Adil dengan Al-Malik Al-’Aziz, penguasa Mesir, dan Atabik ‘Izzuddin, penguasa Moshul yang tengah bergerak menuju wilayah kekuasaan Al-’Adil di al-Jazariyah. Al-Afdhal mengatakan kepadanya: “Jika engkau datang menghadap, maka aku akan siapkan pasukan dan bergerak menuju negaramu untuk mempertahankannya. Tapi jika engkau tetap tinggal dan menolak datang, maka saudaraku, al-Malik al-’Aziz, akan menyarangmu karena di antara kalian memang sudah ada permusuhan. Jika ‘Izzudin menduduki negerimu, maka tidak ada yang bisa mencegahnya kecuali Syam.” Al-Afdhal lalu mengatakan kepada kurirnya: “Jika ia mau datang bersamamu. Jika tidak, maka katakan kepadanya bahwa al-Afdhal telah memerintahkan aku jika aku kembali ke Damaskus, maka aku akan kembali bersamamu. Jika engkau tidak mau melakukannya, maka aku akan pergi menemui al-Malik al-‘Aziz menyerahkan kepadanya segala sesuatu yang terjadi pilihannya.” Ketika kurir itu datang, al-‘Adil berjanji akan datang.
Setelah menyaksikan bahwa tidak ada cara lain kecuali berjanji, maka al-‘Adil pun menyampaikan kepada al-Afdhal bahwa ia lebih memilih al-Malik al-‘Aziz. Ketika itulah ia berangkat ke Damaskus. Al-Afdhal lalu menyiapkan pasukannya dan mengirim surat kepada penguasa Hamash, penguasa Humat dan kepada saudaranya, al-Malik al-Zahir, di Halab, untuk mengirimkan pasukannya menuju al-Jazariyyah guna melindunginya dari serangan penguasa Moshul. Al-Afdhal mengancam mereka jika mereka tidak mau melakukannya. Di antara pesannya kepada saudaranya al-Zhahir: “Engkau telah mengetahui kesetiaan penduduk Syam kepada dinasti Atabik. Demi Allah, jika ‘Izzudin berhasil menduduki Harran, niscaya penduduk Halab akan mengusir kalian, dan kalian akan keluar dari kota itu. Pikirkanlah. “Begitu pula yang dilakukannya dengan penduduk Damaskus. Akhirnya mereka bersatu untuk mengerahkan pasukan. Mereka menyiapkan pasukan, dan mengerahkannya menuju negeri kekuasaan al-‘Adil. Mereka menyebrangi sungai Furat, dan mendirikan kamp pasukan di daerah sekitar al-Reha, di Maraj al-Rahan.[4]

D.          Kemajuan Peradaban
Dari uraian di atas, dapat di ketahui bahwasanya Shalahuddin al-Ayyubi mempunyai dua tugas pokok, yaitu sebagai negarawan yang telah berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah, dan sebagai panglima perang salib yang telah berhasil mengalahkan tentara Salib.
Dari tugasnya yang pertama, Shalahuddin mengadakan banyak pembangunan di berbagai negara, membangun administrasi negara, membangun ekonomi, perdagangan, memajukan ilmu pengetahuan, membangun madrasah dan sekolah serta mengembangkan bidang keagamaan mazhab ahlu al sunnah. Dan untuk tugasnya yang kedua, di bawah naungan Abasiyah di Baghdad, beliau membangun persatuan Arab untuk menghadapi agresi tentara Salib dan membangun benteng pertahanan di bukit Muqattan.
1.             Kemajuan Dalam Bidang Ekonomi
Sebelum Shalahuddin meninggal, Shalahuddin memberikan berbagai bagian dari kekisaran Ayyubiyah, termasuk kota-kota di Suriah, Al-Jazirah, dan Yaman, kepada pelbagai anggota keluarganya. Sekalipun demikian, rasa soladaritas keluarga dan pengendalian dari pusat tetap ada di bawah al-‘Adil dan al-Kamil sampai al-Kamil meninggal. Dibawah kedua sultan ini, kebijaksanaan aktivis Salahuddin memberikan tempat bagi hubungan detente dan damai dengan orang-orang Frank, khususnya ketika Ayyubiyah utara di Diyarbarkr dan Al-Jazirah merasa mendapat tekanan dari dinasti Seljuq Rum dan dinasti Khawarazm Syah. Puncak kebijaksanaan baru ini adalah dikembalikannya Jerussalem oleh al-Kamil kepada Kaisar Frederick II, dan periode damai membawa keuntungan ekonomi yang besar bagi Mesir dan Suriah, termasuk hidupnya kembali perdagangan dengan kekuatan-kekuatan Kristen Mediterrania.

2.             Kemajuan Dalam Bidang Sosial dan Politik
Dalam bidang sosial dan politik, Salahuddin merebut beberapa wilayah dari kekuasaan dari tentara Salib dan membangun Benteng di atas bukit Muqattam yang paling barat dan menghubungkan benteng tersebut dengan benteng Kairo kuno zaman Fathimiyah dan memperluas benteng hingga memagari letak kota Fustat sepanjang sungai Nil. Selain itu, Shalahuddin juga memusatkan pemerintahannya di Mesir.
Setelah Salahuddin meninggal, al-Kamil adalah salah satu sultan yang menggantikannya. Di samping memberikan perhatian serius pada dalam bidang politik dan militer, al-Kamil juga dikenal sebagai seorang penguasa yang memberikan perhatian terhadap pembangunan dalam negeri. Program pemerintahannya yang cukup menonjol ialah membangun saluran irigasi dan membuka lahan lahan pertanian serta menjalin hubungan perdagangan dengan Eropa. Selain itu, ia juga dapat menjaga kerukunan hidup beragama antar umat Islam dengan Kristen Koptik, dan bahkan sering mengadakan diskusi keagamaan dengan para pemimpin Koptik.[5]

3.             Kemajuan Dalam Bidang Ilmu Pengetahuan
Pada masa pemerintahannya, Shalahuddin mendorong para ilmuan untuk berlomba memajukan ilmu pengetahuan. Ada beberapa orang tokoh yang terkenal dalam bidang ilmu pengetahuan:
1)             Musa Ibn Maimoon atau Maimoonides
Musa Ibn Maimoon atau Maimoonides lahir di Cordova pada tahun 1135 M. Tetapi keluarganya meninggalkan negeri itu sebelum jatuh ke tangan Kristen dan tinggal di Kairi pada tahun 1165 M. Musa Ibn Maimoon adalah seorang Yahudi yang terkenal di kalangan Yahudi dan Arab sebagai tabib dan ahli filsafat. Di Kairo ia menjadi dokter pribadi Shalahuddin dan anaknya.
Selain itu, maimoonides juga terkenal sebagai ahli astronomi, ketuhanan, dan filsafat. Ia mempunyai pandangan baru di dalam ilmu kedokteran dan mengarang buku kedokteran yang berjudul Aphorisme yang memuat kritik-kritik terhadap buku Galen. Ia juga menulis buku dalam bidang filsafat yang berjudul Dalahal al Haizin (sebuah pedoman bagi orang yang baru). Dalam buku ini, ia mencoba mempertemukan ilmu kedokteran Yahudi dengan Aristotelian Islam atau antara kepercayaan dengan akal. Pandangan filsafatnya yang di uraikan dalam buku ini memiliki persamaan dengan buku lain, yaitu Aveores, walaupun keduanya tidak pernah berhubungan secara langsung.
Dalil yang diciptakannya adalah dalail atomistis. Dalil ini beerbeda dari dua dalil lainnya yang dijunjung tinggi ole ali pikir Arab, yaitu teori fundamental bahwa Tuhan adalah pencipta tiap-tiap benda, dan teori filsafat yang bersifat Neo Platonis dan Aristotelian. Pengaruh maimoonides sangat besar terutama pada orang-orang Yahudi dan Kristen hingga abad XVIII, buku-buku itu merupakan alat utama untuk menyebarkan alam pikiran Yahudi memasuki alam pikiran lainnya. Pengaruhnya yang terakhir terlihat pada buah ciptaan Spinoza dan Kant.
2)             Abdul Latief
Abdul Latief adalah seorang dokter ahli tulang yang awalnya tinggal di Baghdad, kemudian, ia pindah ke Kairo karena hendak mencari orang yang pandai dalam bidang ilmu kedokteran. Pada tahun 1200 – 1202 M ia menyaksikan wabah kelaparan dan gempa bumi yang terjadi di Mesir. Selama di Mesir, ia dapat memperbaiki teori Galen tentang tulang rahang bahwa sebenarnya tulang rahanglah yang menghubungkan tulang punggung dan tulang kaki.
3)             Ibn al Baytar
Ibn al Baytar terkenal sebagai dokter hewan dan medical yang mengarang buku Aqrabaddin (paling dekat dengan agama) yang di ubah oleh orang Eropa ke bahasa latin menjadi Grafhidion yang berarti buku kecil. Karena ahli bahasa Eropa menyangka Aqrabadzin berasal dari bahasa latin Grafhidion.
Selain itu, Ibn al Baytar menulis suatu resep kumpulan obat-obatan yang mudah di dapat. Buku itu memuat 1400 macam tumbuh-tumbuhan yang berasal dari ramuan lama bangsa Arab yang dapat digunakan menjadi ramuan obat.
4)             Kahin al Attar dan Daud al Intaki
Kahin al Attar pada tahun 1400 M mengarang buku ramuan obat Islam yang terkenal di Eropa, yaitu “Management of the drug store” yang berisi tentang aturan resep untuk dokter. Dan satu lagi buku yang di karang oleh Daud al Intaki, wafat tahun 1599 M, yang berjudul “Memorial”.  Kedua buku ini di karang di Kairo. Pada saat itu hampir di berbagai apotik di Eropa menggunakan kedua buku ini untuk memperlengkap koleksi obat – obatannya. Pada masa itu, banyak ramuan-ramuan Islam yang masuk ke dalam ramuan Eropa. Diantaranya adalah rob (semacam obat ramuan dari sari buah dan madu), juleb (berasal dari gulap, berarti air mawar), syrup (berasal dari syarab, berarti obat minum dengan aroma), di Indonesia menjadi syerbat.
5)             Muhammad al Damiry
Muhammad al Damiry, wafat tahun 1405 M, juga seorang pakar ilmu hewan yang terkenal yang mengarang buku yang berjudul “Hayat al Hayawan” (The Life of Animals). Walaupun buku ini disusun berdasarkan berbagai buku yang ada tetapi buku  ini sangat baik. Buku ini lama sekali dipakai oleh sekolah-sekolah di berbagai negeri Timur.

4.             Kemajuan Dalam Bidang Pendidikan
Di puncak kejayaan dinasti Ayyubiyah, beragam jenis sekolah dibangun di seluruh wilayah kekuasaan dinasti itu. Madrasah-madrasah itu dibangun tak hanya sekedar untuk membangkitkan dunia pendidikan, tetapi juga memopulerkan pengetahuan tentang mazhab Sunni. Di masa kepemimpinan Shalahuddin, di Kota Damaskus berdiri sebanyak 20 sekolah, 100 tempat pemandian, dan sejumlah tempat berkumpulnya para sufi. Bangunan madrasah juga didirikan di berbagai kota, seperti Aleppo, Yerusalem, Kairo, Alexandria, dan di berbagai kota lainnya di Hijaz. Sejumlah sekolah juga dibangun oleh para penerus tahta kerajaan Ayyubiyah. “Istri-istri dan anak-anak perempuan penguasa Ayyubiyah, komandan, dan orang-orang terkemuka di dinasti itu mendirikan dan membiayai lembaga-lembaga pendidikan’’. Meski Dinasti Ayyubiyah menganut mazhab fikih Syafi’i, mereka mendirikan madrasah yang mengajarkan keempat mazhab fikih. Sebelum Ayyubiyah menguasai Suriah, di wilayah itu tak ditemukan sama sekali madrasah yang mengajarkan fikih mazhab Hambali dan Maliki. Setelah Ayyubiyah berkuasa di kawasan itu, para ahli sejarah menemukan 40 madrasah Syafi’i, 34 Hanafi, 10 Hambali, dan tiga Maliki.
Berbeda dengan kuttab dan mesjid, madrasah sudah mempunyai bangunan fisik tertentu seperti sekarang ini, yang bentuknya dirancang sesuai fungsinya untuk melanjutkan pendidikan mesjid. Bangunan madrasah tersebut meliputi tiga unit, yaitu; Unit madrasah, unit asrama, dan unit mesjid. Unit asrama dijadikan tempat murid-murid, guru-guru dan para pegawai madrasah sehingga membentuk keluarga besar, dengan demikian murid-murid dapat diberikan program-program belajar yang intensif dan membahas secara bersama-sama masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, keagamaan, kemasyarakatan, dan penghidupan. Tujuan pendidikannya selain untuk mengembangkan ilmu pengetahuan agama dan membentuk kader-kader yang mempunyai misi keagamaan dalam masyarakat, juga untuk mencetak tenaga-tenaga yang kreatif yang ahli dalam bidangnya masing-masing.
Perbedaan-perbedaan lainnya adalah madrasah sudah merupakan salah satu organisasi resmi Negara di mana dikeluarkan pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintahan. Pelajar-pelajar disitu juga resmi, dijalankan menurut peraturan-peraturan dan undang-undang, serupa yang dikenal selama ini. Segala sesuatu diatur seperti kehadiran dan kepulangan murid, program-program pelajaran, staf pengajar, perpustakaan dan gelar-gelar ilmiah. Di Mesir ketika itu hanya terdapat satu buah perguruan tinggi yaitu Universitas al-Azhar yang masih berdiri hingga sekarang.[6]

E.          Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Ayyubiyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hancurnya dinasti Ayyubiyah, pertama: faktor dari luar, yaitu serangan tentara Salib yang etrus menerus. Kedua: faktor dari dalam, yaitu pergantian kepemimpinan yang menimbulkan polemik pada saat itu.
Pada tahun 1249 M Malik al Saleh Ayyubiyah sebagai penguasa Mesir ketika itu jatuh sakit, kemudian meninggal dunia pada tahun itu juga. Kekuasaan sementara di pegang oleh istrinya yaitu Sajaratud Durr yang asal usulnya adalah seorang budak kebangsaan Armenia sebagai hadiah dari kalifah Mu’tashim di Baghdad kepada Malik al-Shaleh. Sajjaratud Durr kemudian dimerdekakan dan diangkat menjadi permaisuri. Setelah lebih kurang 80 hari berkuasa, Sajjaratud Durr memanggil anak Malik al Shaleh yang bernama Turan Syah untuk menduduki tahta. Tetapi setelah berkuasa, anak titirnya ini malah tidak berterima kasih atas usaha ibunya, bahkan berusaha untuk menyingkirkannya. Maka Sajjaratud Durr meminta bantuan kaum mamluk dan terjadilah kudeta yang berkahir dengan terbunuhnya Turan Syah dan Sajjaratud Durr dinobatkan kembali menjadi Sultan mesir sekaligus penguasa peralihan dari Ayyubiyah ke penguasa baru yaitu dinasti Mamalik.[7]
Dinasti Ayubiyyah mulai merosot ketika mereka mulai bergantung kepada hamba yang dibawa dari Turki dan Mongol sebagai tentera. Hamba-hamba ini mulai bertambah kuat dan dikenali sebagai Mamluk. Kekuasaan Ayubiyyah merosot terus selepas kehilangan Mesir kepada Mamluk pada tahun 1250. Ayubiyyah terus memerintah Damsyik dan Aleppo sehingga tahun 1260 hingga mereka diusir keluar oleh orang Mongol. Kemarahan Mongol yang dapat disekat di Ain Jalut oleh tentera Mamluk sehingga menjadikan Mamluk semakin kuat. Tahun berikutnya hampir seluruh Syria jatuh ke tangan Mamluk. Kerajaan Ayubiyyah sempat masih terus memerintah sebagian kecil kawasan Syria seperti Hamah untuk 70 tahun berikutnya sehingga mereka diduduki oleh Mamluk.[8]



[1] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta: Kencana, 2007) h. 147
[2] Ahmad Fadlali, dkk,. Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004) Cet. 1. Hal. 106
[3] Abu Haytsam, Ekspedisi Shalahudin Al-Ayubi (Jakarta: Pustaka Kalami, 2004) Cet 1. Hal. 356
[4] Ibid. Hal. 358-360
[5]Ali M. Zebua, “Dinasti Ayyubiyah: Hubungan Politik Dengan Pendidikan Islam,” artikel di akses pada 13 November 2012 dari http://alimzebua.wordpress.com/2012/02/19/adinasti-ayyubiyah-hubungan-politik-dengan-pendidikan-islam-oleh-ali-m-zebua-mahasiswa-magister-mpi-pascasarjana-iain-su-medan/
[6] Ibid.
[7] Ahmad Fadlali, dkk., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004), h. 108-109.
[8]Sejarah Dinasti Ayyubiyah” artikel diakses pada 13 November 2012 dari http://pemudagenius.blogspot.com/2011/06/sejarah-dinasti-ayyubiyah.html

2 komentar:

Posting Komentar